fbpx Document
Tanya CS

Literasi K3 Pada Pekerja Sektor Informal

Pada Februari 2024, penduduk usia kerja berjumlah 214 dimana sebanyak 149,38 juta orang diantaranya merupakan angkatan kerja. Dengan demikian, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 69,80%. Sekitar 7,20 juta orang atau 4,82 persen dari total angkatan kerja pada Februari 2024 merupakan pengangguran. Jumlah pengangguran tersebut lebih baik daripada sebelum pandemi, turun sebanyak 0,79 juta orang dibandingkan Februari 2023. Angka ini sudah lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi (Februari 2020).

Prediksi Bappenas di masa Pandemi (2021) bahwa jumlah pengangguran dapat menyentuh 12,7 juta orang. Kondisi tersebut bukan hanya menjadi sebab banyak sektor formal gulung tikar, begitupula dengan sektor informal yang sangat “ngos-ngosan” dengan modal dan akses pembiayaan yang minim. Apalagi ditambah dengan generasi Z yang juga mulai masuk pasar kerja sektor informal.

Sektor informal yang sedang naik daun memiliki keterbatasan, salah satunya, menurut penelitian Yani (2006) bahwa nilai perlindungan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di sektor informal masih rendah dibandingkan dengan sektor formal. Rafiah (2021) menyebutkan bahwa Penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di sektor informal sering diabaikan dan tidak semua pemilik usaha maupun pekerja mengetahui tentang pentingnya penerapan K3 ditempat kerja.
Menjadi sangat wajar, di banyak negara berkembang, kurangnya perhatian yang memadai terhadap kesehatan dan keselamatan di negara berkembang di antara para peneliti dan pemerintah (Puplamp, 2012). Hal ini dapat terjadi karena praktik K3 khususnya di sektor informal tidak dianggap sebagai faktor penting yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan nasional.

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlindungan K3, guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, yang dilakukan melalui upaya keselamatan dan kesehatan. Upaya tersebut belum sangat penting bagi pekerja sektor informal.

Sektor informal adalah sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil yang merupakan bagian dari angkatan kerja yang berada di luar pasar tenaga yang terorganisasi. Sehingga mereka bukan perusahaan berskala kecil karena sektor informal dianggap sebagai suatu manifestasi situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara yang sedang berkembang karena itu mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil ini (Widowati, 2018).

Usaha-usaha yang dimaksud di antaranya pedagang kaki lima, pedagang keliling, tukang warung, tukang cukur, tukang becak, tukang sepatu, tukang loak serta usaha rumah tangga seperti pembuat tempe, pembuat kue, pembuat es mambo, pembuat barang anyaman, dan lain-lain (Bappenas, 2009). Contoh pekerjaan seperti tukang las. Sifat pekerjaan memungkinkan untuk menciptakan debu material besi yang menempel pada pakaian, sepatu, dan rambut mereka yang juga membahayakan anggota keluarga.

Dengan adanya perhatian, maka nasib pekerja sektor informal juga akan berdampak untuk memutus mata rantai kemiskinan, karena biaya kesehatan untuk memberi perawatan sakit yang berkepanjangan atau cacat permanen membuat pekerja sektor informal makin jatuh dari keterperukan. Namun lebih banyak pekerja informal tidak dapat membedakan antara kesehatan di rumah dan kesehatan di tempat kerja dan ini mempengaruhi kesehatan dan keselamatan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Interaksi antara bahaya pekerjaan dan kondisi kehidupan yang buruk dapat memperburuk masalah kesehatan pekerja sektor terkhusus di sektor informal.

Bahkan sekarang muncul para ojek online (Ojol) perempuan yang merupakan ibu tunggal ikut menjadi bagian dari geliat tumbuhnya digitalisasi di bidang transportasi. Namun tidak banyak afiliasi dari perusahaan yang bekerjasama dengan pekerja sektor informal untuk menyadari betapa pentingnya literasi K3.

Grab hanya salah satu perusahaan ojol yang cukup perhatian pada driver perempuannya. Dengan fokus pada pemulihan korban kekerasan serta pemulihan korban kekerasan serta program peningkatan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan penyintas kekerasan dan Pundi Perempuan, Grab bermitra dengan tiga lembaga untuk bisa menghadirkan teknologi yang inklusif dan aman, yakni dengan Komnas Perempuan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik bagi penumpang dan mitra perempuan, Forum Pengada Layanan. untuk pemulihan korban kekerasan serta program peningkatan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan penyintas kekerasan dan Pundi Perempuan. Tujuannya untuk mengajak pelanggan memberikan donasi bagi lembaga pengada layanan bagi korban kekerasan.

Rendahnya literasi K3
Tidak banyak pekerja menyadari tentang pentingnya pengetahuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Di sektor formal, Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), dalam rangka mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Namun dalam prakteknya hanya dapat diterapkan pada pekerja (formal). Bagaimana perlindungan K3 bagi pekerja informal?

Secara umum, untuk diketahui, merujuk pada data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2019 (liputan6.com, 2019) terdapat 114.000 kasus kecelakaan kerja, tahun 2020 terjadi peningkatan pada rentang Januari hingga Oktober 2020 BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.000 kasus kecelakaan kerja. Naik hampir 70 persen jika berkaca pada dua dekade lalu. Data kecelakaan di tempat kerja yang tercatat di Indonesia telah meningkat dari 98,902 kasus pada tahun 2000 menjadi 104.774 kasus pada tahun 2001. Selama paruh pertama tahun 2002 saja, telah tercatat 57.972 kecelakaan kerja (Taufiqurahman, 2003).

Jumlah pekerja informal di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja sektor informal di Indonesia bertambah dalam 5 tahun terakhir. Pada Februari 2019 jumlahnya masih 74,09 juta orang (57,27% dari total penduduk bekerja), kemudian pada Februari 2024 naik menjadi 84,13 juta orang (59,17% dari total penduduk bekerja). Jumlah pekerja sektor informal yang terus meningkat yang dimulai sejak pandemi Covid-19 membutuhkan perhatian khusus. Bahkan secara khusus anggota Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) meminta pemerintah turut mengawasi K3 pada pekerja sektor informal.

Temuan Kemenkes RI (2016) bahwa pekerja sektor informal merupakan pekerja yang paling rentan terpapar berbagai risiko yang menyebabkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, bahkan kematian. Priyandi (2017) mengatakan kelompok ini yang paling tidak terlindungi serta minimnya informasi keselamatan dan kesehatan kerja sehingga pekerja tidak paham tentang pencegahan kecelakaan dalam bekerja. Hal ini, dikarenakan kurangnya pengetahuan pemilik usaha dan pekerja sektor informal akan pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Dalam penelitian Duma (2018) bahwa lebih dari 50% pekerja sektor informal di Samarinda belum mengetahui tentang K3 dan tujuan serta pos UKK, namun lebih dari 50% sudah memiliki dana sehat dan berobat ke puskesmas jika terluka atau sakit. Suwarto (2020) menyatakan bahwa Pos UKK (Upaya Kesehatan Kerja) merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat di kelompok pekerja informal, terutama didalam upaya promotive, preventif untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Prinsip dari pos UKK adalah dari, oleh untuk pekerja kelompok informal. Berdasarkan review beberapa naskah publikasi hasil penelitian bahwa pelaksanaan di pos UKK belum optimal.

Pengetahuan tentang K3 adalah bagian dari health literacy tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kesehatan (termasuk kesehatan kerja). Dengan semakin banyaknya jumlah pekerja di sektor informal, maka perhatian khusus pada K3 pekerja sektor informal menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa literasi K3, akan banyak pekerja sektor informal tidak memahami apa yang terjadi ketika kecelakaan kerja terjadi, sementara banyak biaya cicilan dan lain sebagainya perlu juga dipikirkan, yang memberikan multiplyer effect bagi domain lainnya, yakni cost social yang tinggi dan munculnya deviasi sosial yang menyebabkan ketidaktentraman masyarakat.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp